Menuju Abad Singulariti

MENUJU ABAD SINGULARITI
Nasib. Takdir. Futurisme.
oleh Prof Abu Hassan Hasbullah

Pengetahuan masadepan atau Futurisme, secara filsafatnya berkembang dari pengetahuan Islam berkenaan Future Studies. Islam dengan jelas dan benar dalam mengadiluhung perbincangan berkenaan masadepan; terdapat beberapa konsep antaranya, konsep al-dahr atau masa/waktu, kronos, future dan makrotawarikh; “Dan mereka berkata: ‘Tiadalah hidup yang lain selain daripada hidup kita di dunia ini. Kita mati dan kita hidup (silih berganti); dan tiadalah yang membinasakan kita melainkan edaran waktu/ masa (zaman). Pada hal mereka tidak mempunyai sebarang pengetahuan tentang hal itu; mereka hanyalah menurut sangkaan semata-mata” (Surah Al-Jaatiyah: 24); dan Al-qadar, “Sesungguhnya Kami menciptakan tiap-tiap sesuatu menurut takdir (yang telah ditentukan).” Maknanya, sesuatu keputusan dan kemuliaan, berkenaan dengan pengukuran atas segala perbuatan dan pengukuhan atau pengabadian segala perkara dan bagi setiap orang, hubungan dan durasi sesuatu masa, magnitud/kekuatan dan pengarahan sesuatu tempat/sfera, kebitaraan penguasaan dan kejauharian perencanaan oleh manusia/umat sebagai abid/hamba Allah. Atau al-‘Ilm/ ilmu pengetahuan: (a) Maha Pengetahuannya Allah, yakni Allah SWT Maha Mengetahui atas setiap perkara dan segala sesuatu; “… sesungguhnya Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu” (Surah al-Anfal: 75); (b) Allah Maha Mengetahui, (i) apakah yang berlaku, (ii) apakah yang sedang berlaku sekarang, (iii) apakah yang akan berlaku di masadepan, (iv) apabila sesuatu tidak berlaku dan Allah Maha Mengetahui apa yang akan berlaku apabila ianya berlaku, “Allah yang menciptakan tujuh petala langit dan (Ia menciptakan) bumi seperti itu; perintah Allah berlaku terus menerus di antara alam langit dan bumi. (Berlakunya yang demikian) supaya kamu mengetahui bahawa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu, dan bahawa sesungguhnya Allah tetap meliputi ilmuNya akan tiap-tiap sesuatu”. Rukun Rahmatan Lil ‘Alamin yang secara alamiahnya mengajar berkenaan ketetapan oleh Allah (af’āl Allah) dan pilihan ketetapan oleh manusiawi (af’āl al-‘ibād); dan “al- ghayb” (ghaib) yang dalam hak dan kuasa pengetahuan Allah sepenuhnya, dan; “mustaqbal” (masadepan) atau antisipasi terhadap baldatun thoyyibatun warobbun ghofur penghidupan manusiawi. Dan, Islam menuntut manusia untuk merancang perubahan dan pemajuan dengan pelbagai pilihan yang dikurniakan sebagai akhlak dan amanah dalam membangunkan kebolehan- kebolehan dan paripurna yang seiring dengan zaman sebagai prakarsa memperbaiki penghidupan. Islam mengajar dan mendidik tentang membentuk sikap, akhlak, fikiran, tindakan, perancangan dan pelaksanaan secara praktikal dan pragmatik; terutama dalam merekayasa dan mengembangkan pengetahuan-pengetahuan baharu dan inovasi, yang memainkan peranan penting dalam setiap evolusi masyarakat manusia atau abassid manusia; “Dan (pada suatu hari) raja Mesir berkata: “Sesungguhnya aku mimpi melihat: tujuh ekor lembu yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor lembu yang kurus, dan aku melihat tujuh tangkai (biji-bijian) yang hijau dan tujuh tangkai lagi yang kering. Wahai ketua-ketua kaum (yang hadir), terangkanlah kepadaku tentang mimpiku ini, kalau kamu orang-orang yang pandai mentadbirkan mimpi“. Mereka menjawab: “Yang demikian itu ialah mimpi-mimpi yang bercampur aduk, dan kami bukanlah orang-orang yang mengetahui mimpi-mimpi (yang sedemikian) itu”. Dan (pada saat itu) berkatalah orang yang terselamat di antara mereka yang berdua itu, dan yang baharu teringat (akan pesanan Yusuf) sesudah berlalu suatu masa yang lanjut: “Aku akan memberitahu kepada kamu tadbirnya. Oleh itu, hantarkanlah daku pergi (kepada orang yang mengetahui tadbirnya)”. (Setelah ia berjumpa dengan Yusuf, berkatalah ia): “Yusuf, wahai orang yang benar (pada segala-galanya)! Tadbirkanlah kepada kami (seorang bermimpi melihat): tujuh ekor lembu yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor lembu yang kurus dan tujuh tangkai (biji-bijian) yang hijau serta tujuh tangkai lagi yang kering (tadbirkanlah) supaya aku kembali kepada orang-orang yang mengutusku itu, semoga mereka dapat mengetahui tadbirnya”. Yusuf menjawab: “Hendaklah kamu menanam bersungguh-sungguh tujuh tahun berturut-turut, kemudian apa yang kamu ketam biarkanlah dia pada tangkai-tangkainya kecuali sedikit dari bahagian yang kamu jadikan untuk makan.” (Surah Yusuf: 43-47)

Er’-nya Futurisme – adalah pracalita sains sosial dan sains dalam mengupayasandhi dharmalaksana Futurisme, dan keperluan teori yang rasional, metodologi dan pengetahuan dharmalaksananya Futurisme – menjadi suatu disiplin pengetahuan yang begitu penting baik secara filsafat, retorik dan logik dan ditempatkan sebagai disiplin ilmu “Future Studies” atau “Futurisme”. Nikola Tesla, 1896, dengan jelas menghuraikan dalam bukunya Inventor of Alternating Current; “I do not think there is any thrill that can go through the human heart like that felt by the inventor as he sees some creation of the brain unfolding to success.”

Mengalif sebagai ilmuwan masadepan, abimantrananya (katalepsis) kita adalah berfungsi sebagai pendeta, yakni saintis, yang sangat perlu untuk berminat dengan ‘Future Studies’, atau pengajian masadepan, atau pradipta; atas sekian banyak acitya (acataleptic) yang nyatanya berbeza- beza. Yakni; dari krisis, wawasan dan rencana strategi (renstra) pembangunan ekoposial (ekonomi, politik, sosial); gastronomi, mikrobiologi, dan kesihatan, sejarah dan demografi, pedagogi, literasi dan sosiologi daridra, atau kemiskinan, sains teknologi dan kreativiti kultural, urbanisasi dan ekistik, ion, bateri, maritim, kejuruteraan, perindustrian dan geografi, artistik, fesyen dan warisan, media, komunikasi, persepsi sebagai informasi, demokrasi partisipasi dan individualisme, filem, televisyen, dan liberalisme, siberologi, cyborgology, “creative futures” dan entrepreneurial, etika dan falsafah, yang pantas mengembangkan potensi ekoposial regeneratif sebagai pracalita, arete, dan khwarizmi baharu Kurun 21. “It’s a future period during which the pace of technological change will be so rapid, its impact so deep, that human life will be irreversibly transformed. Although neither utopian nor dystopian, this epoch will transform the concepts that we rely on to give meaning to our lives, from our business models to the cycle of human life, including death itself. Understanding the Singularity will alter our perspective on the significance of our past and the ramifications for our future” (Kurzweil 2005: 24). Bagaimana ilmuwan yang jauhari mengorganisasi nasib (pistis), harapan (elpis), kebahagiaan (agape) dari isu-isu, persoalan-persoalan, cadangan- pandangan, polemik dan konflik, wawasan, dan ketentuan, dan mengandalusia dunia dan membangunkan trends/trisna masadepan/pradipta’, dan mengadiluhungnya; #tag:

Adakah kita telah benar-benar memerhati masadepan dalam urusan disiplin, atau pengetahuan dan pengalaman kita sendiri?

Bagaimanakah kita memerhati dan menguruskan masadepan dalam tempoh sepuluh tahun, atau satu zaman dari sekarang?

Apakah objektif dan renstra, teori dan metodologi, sebab dan akibat, kesan dan matlamat, faedah dan kepentingan dalam menguruskan kesiapsiagaan prediksi dan projeksi mengorganisasi masadepan tersebut?

Futurisme akhirnya muncul.

Futurisme sentiasa dan terus-terusan diberi kepercayaan sebagai suatu gerakan dalam sejarah manusiawi oleh mereka yang mencuba mengorganisasi masadepan; “The global management of nine billion people who demand health, food, work, shelter and security will be the most daunting challenge any civilization has ever faced… Feeding nine billion people in 2050 with an environment that cannot sustain six billion today is a challenge of great proportions. We most certainly need to change our perspective about the environment in order to best prepare for the changes in climate that are coming. We probably cannot feed the planet without advanced, accelerated agriculture to head off mass starvation in the future” (Canton 2006: 76) dari membaca rekaan “Songket” misalnya, sehinggalah menguruskan penelaahan akan perang “Bimasakti” atau galaksi. Namun, dalam tahun-tahun terdahulu, terutama sejak Era Perang Dingin, para saintis, sosiologis, jurutera, termasuk penyelidik-penyelidik bebas sains sosial, dan sarjana-sarjana lainnya, mula menamakan dan menempatkan diri mereka sebagai futuris/futuriwan, yang telah memajukan metode kuantitatif dan kualitatif secara rasionalnya untuk berantisipasi dengan masadepan/ pradipta; kata Pericles (5 SM); “Is not our task to predict the future but to be well-prepared for it”.

Tegasan, metode bagi mempelajari masadepan bukanlah sebuah rekabina untuk mempercayai bahawa masadepan boleh diprediksi sewenang lenang sebagaimana kepercayaan menanggapi dongeng-dongeng silam, tetapi menjadi sebuah prakarsa meneroka dan merekabina kemungkinan- kemungkinan masadepan yang alternatif adalah aspek terpenting dalam metode ‘future studies’. Maka metode ‘future studies’ secara umumnya direkabina bagi membantu manusia memahami kemungkinan-kemungkinan masadepan secara lebih baik sekaligus menguruskan secara lebih bijaksana (ataraxia) dan budiman (aponia) segala macam keputusan yang dibuat pada hari ini. Futuriwan sentiasa meneguhkan bahawa mereka memakai metode-metode ‘future studies’ untuk mengurangkan ketidaktentuan, tentunya lebih keakuratan untuk menyatakan para futuriwan sedang mencuba untuk menguruskan ketidaktentuan; “what separates futurists from the soothsayers who came before is rationality, an awareness that the future cannot be known with absolute certainty, and the recognition that many different futures are possible, depending on decisions people make in the present” (WFSF 2001: 12). Banyak pemutusan dan perencanaan yang perlu dilakukan pada hari ini sebagai gerakan siap-siaga menempuhi ketidaktentuan yang luarbiasa terhadap apa yang mungkin meletus di masadepan, atau kesan dan pengaruh mahsul dari keputusan-keputusan tindakan masakini terjadi di masadepan. Metode-metode masadepan menolong masyarakat untuk berurusan dengan segala ketidaktentuan melalui klarifikasi tentang apa yang terketahui, apa yang mungkin diketahui, apakah ukuran-ukuran kemungkinan yang mungkin diketahui, apakah situasi kemungkinan yang paling terdekat boleh diketahui, dan bagaimana keputusan-keputusan yang dibuat pada hari ini menjadi krisis-krisis yang pelbagai dan membentuk segala mungkin di masadepan.

Futurisme menekankan kedua-dua kaedah deskriptif dan preskriptif. Kaedah deskriptif atau ekstrapolatif, memperjelaskan secara objektif keadaan atau kemungkinan keadaan masadepan. Kaedah preskriptif, atau normatif, memberi perhatian terhadap apakah yang seharusnya keadaan masadepan. Kaedah-kaedah preskriptif akan cuba membimbing manusia bagi mengklarifikasi nilai- nilai dan petunjuk-petunjuk yang membolehkan manusia mengupayasandhi paramusesa masadepan. Hari ini, Futurisme berlegaran sekeliling penghidupan kita; para usahawan, politikawan, saintis, arkitek dan jurutera, pereka, guru, angkasawan, gamers malah “Anonymous (Guy Fawkes mask group)” mencuba untuk memiliki parameswara masadepan – terutama apabila secara keseluruhan keperluan penghidupan (enthumēma) Megatrends menghartaka manifesto masadepan masyarakat dalam sains dan inovasi teknologi dan lahirnya era informasi, atau era digital, atau peradaban siberologi dan cyborgologi; dan isu-isu ekoposial dalam perlakuan digital media, virtual, komputer, internet, telekomunikasi dan sibernetik, dan polemik industri-industri Mutant dan Cyborg, Smart City, atau Urban Futures, media sosial dan liberalisme, ekonomi kreatif dan singularisme, Marine/Blue Economy dan future food, yang spheroids dan ellipsoids perhatian terhadap Futurisme. Sebaik Futurisme difahami tentang masadepan yang bagaimana yang diiginkan, maka prakarsa-prakarsa yang terbaik dapat dibentuk dalam membentuk masadepan yang abassid tersebut. Ini kerana Futurisme tertakluk sepenuhnya kepada pemutusan manusia, maksudnya amat sukar untuk ditentukan strategi-strategi dan penyelidikan-penyelidikan masadepan yang mana perlu diberi keutamaan dan yang mana perlu dibiarkan. Futurisme benar-benar bermaksud masadepan adalah bergantung kepada peluang; “An analysis of the history of technology shows that technological change is exponential, contrary to the common-sense ‘intuitive linear’ view. So we won’t experience 100 years of progress in the 21st century – it will be more like 20,000 years of progress (at today’s rate). The ‘returns,’ such as chip speed and cost-effectiveness, also increase exponentially. There’s even exponential growth in the rate of exponential growth. Within a few decades, machine intelligence will surpass human intelligence, leading to The Singularity – technological change so rapid and profound it represents a rupture in the fabric of human history” (Kurzweil 2003: 6).

Masadepan adalah peluang. Peluang adalah pilihan. Pilihan adalah strategi. Oleh kerana secara definisinya pilihan adalah amat mudah dan percuma, dan manusia tentunya secara deformatif tidak dapat memprediksikan apakah pilihan mereka. Tetapi seandainya manusia mendeterminasi untuk membuat pilihan-pilihan, atau mengupayasandhikan peluang, kemudian secara bingung tidak benar-benar berbuat pilihan, atau bergantung terhadap peluang, maka manusia akan dideterminasikan. Lantas faktualnya setiap orang mempunyai pilihan, yakni pilihan manusia, maknanya masadepan yang ditanggapi adalah sukar untuk diramalkan; “If you do not think about the future, you cannot have one” (Galsworthy 1928: Chapter 6). Futurisme diterima sebagai suatu pengetahuan mengkoordinasi dan mengorganisasi pilihan-pilihan. Sikap, tindakan, dan pengetahuan, swadaya dalam mengurus dan mentadbir potensi, pilihan, peluang, cabaran baik waktu, tempat dan orang, termasuk perubahan-perubahan alam, sistem ekoposial, dan kandungan- kandungan penghidupan-penghidupan lain adalah Futurisme yang sebahagian menyebutnya sebagai entrepreneurial; atau keusahawanan, atau kewirausahaan, atau kewiraswastaan. Swadaya ini membentuk pemahaman dalam projek Future Studies sejak awal diperbahaskan terutama bila menghubungkan yang setiap orang mempercayai pilihan dan sentiasa bergantung terhadap situasi; pilihan yang terpunya buat mereka yang berada dalam sel penjara perang secara ekstremnya begitu terbatas sekira tidak terhapus sama sekali; dan pilihan yang termilik oleh mereka yang bersaing dalam perniagaan tentunya lebih besar dan tinggi serta mempunyai sisi masadepan yang lebih menjanjikan kejayaan dan kekayaan. Beginilah juga situasi dalam fesyen, desain, komunikasi, teknologi dan budaya. Lalu persoalan pilihan dan peluang adalah bergantung pada horizon masa, tempat dan manusia itu sendiri; sunyata horizon masa adalah jarak waktu, horizon tempat adalah ruang, dan horizon manusia adalah pilihan dan peluang bagi setiap orang memerhati ke masadepan; “the future enters into us in order to transform itself in us long before it happens” (Rilker 2000: 67). Adakah futurisme adalah perhitungan terhadap tempoh, atau durasi sesuatu prakarsa seperti dalam mencipta desain produk industri atau kandungan media agar sealiran dengan pasaran di masa itu? Aktualnya pilihan yang cukup jauhari adalah bukan dalam tempoh yang pendek dan singkat, yakni tentang pilihan orang ramai pada hari ini, atau esok, atau tahun hadapan, kerana tempoh yang sedemikian itu sudahpun disiap-siagakan. Apa yang kita (manusia) pilih untuk dua puluh tahun dari sekarang, dan bersungguh-sungguh dengan pilihan tersebut, dan meneruskan prakarsa-prakarsa, asa-asa, darmalaksana, dan renstra untuk mencapai pilihan terebut, adalah pengetahuan paling berpengaruh, yang akan membentuk masadepan, atau dengan frasa paling mudah ialah proses di mana akhirnya masadepan itu dibentuk (form the future);“The notion of a universe that is subject to constant change and that nonetheless follows certain laws goes back to Heraclitus of Epheros… the works of Heraclitus represent an elementary basis for the distinctive Western world view – even Hegel sees Heraclitus’ theory about the interrelatedness of opposites as the basis of his own dialectic philosophy. Plato later famously summarized the world view of Heraclitus with the words “phanta rei” or “everything flows”. All things are ceasely in flux. The only certainty is endless change. Permanence is an illusion. Plato uses Heraclitus’ example of the man who cannot enter the same river twice because the river and the man will have changed in the meantime… “everything changes and nothing is permanent” (Ulf Pillkahn 2005: 41-42).

Maka demikianlah keajaiban masadepan yang diinginkan itu terbentuk, bukanlah sebuah perayaan magis dan mistik, tetapi dengan kesungguhan dan kecekapan menguruskan pilihan dan peluang secara konsisten, atau mentadbir potensi atau wiraswasta terhadap keinginan pradipta itu tentunya akan membuahkan kejayaan, dan semua darmalaksana dan upayasandhi inilah yang difahamkan bahawa masadepan boleh dijangkakan dan dipermudahkan hasilnya; “the main purpose of studying the future is to look at what may happen if present trends continue, decide if this is desirable, and, if not, work to change it”. Apakah #tag, atau pilihan-pilihan, atau peluang-peluang jangkamasa panjang, dan bagaimana ia dapat diterokai, dan bagaimana manusia boleh bergerak pantas ke depan? Pernyataan-pernyataan beginilah yang dipercayai begitu berharga buat masadepan.

“Historical change is like an avalanche.
The starting point is a snow-covered mountainside that looks solid.
All changes take place under the surface and are rather invisible.
But something is coming.
What is impossible is to say when” (Norman Davies 2012: 3).

Meski ramai para futuriwan, maupun sarjana-sarjana lain yang mempunyai keminatan terhadap Futurisme menanggapi bahawa futuriwan bukanlah satu kaum yang melakukan kerja- kerja prediksi, tetapi dalam pemahaman yang lain adalah sebuah pemikiran pilihan terhadap alternatif masadepan, misalnya mungkin dengan membangunkan trisna-trisna/trends yang boleh mencetuskan perubahan-perubahan dan membentuk nilai, sistem, kandungan dan penghidupan dalam lingkaran yang baharu, atau secara ‘foresight’ meneroka projek pembentukan masadepan tersebut; “We affirm that the world’s magnificence has been enriched by a new beauty: the beauty of speed. A racing car whose hood is adorned with great pipes… is more beautiful that the Victory of Samothrace” (Filippo Tomasso Marinetti, “The Founding and Manifesto of Futurism”, Le Figaro October 20, 1909).

Sebab itulah masih ada sebilangan futuriwan dan ilmuwan meletakkan Future Studies sebagai suatu projek dan masih di peringkat falsafah kerana fenomena disiplin Futurisme masih diperhatikan dan diperbahaskan sebagaimana keributan suatu masa dahulu bila ‘cultural studies’ mula diperkatakan. Kendatipun begitu, kebangkitan dunia virtual dengan penciptaan pelbagai teknologi futuristik telah menderu penerimaan Futurisme sebagai disiplin ilmu dalam mengorganisasi, mengkoordinasi dan mengkonstitusi pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Selepas Abad ke-21 di mana munculnya fenomena Futurisme adalah terakibat dari kebosanan mendengar orang ramai berkata-bertutur yang faedah apakah kita merancang dan melakukan rencana-rencana untuk seratus tahun akan datang sedangkan proses penghidupan di hari ini masih belum-belum selesai dan sempurna; “To this future civilization and its intellectual equipment. Futurology would contribute its part, a part analogous to that played by the youthful sciences of nature in the Hellenistic world when, though unable to prevent the general breakdown, they nevertheless served as a foundation for the scientific advancement of subsequent civilizations. Finally, in our days a clearcut and unequivocal picture of the future could turn into a sublime personal challenge to those who are ready to withstand the inevitable with courage and conviction” (Flechtheim 1972: 264-276), espionage kemarian Abad Singulariti; “I set the date for the Singularity – representing a profound and disruptive transformation in human capability – as 2045. The nonbiological intelligence created in that year will be one billion times more powerful than all human intelligence today” (Kurzweil 2005: 120)

Sebelum ini dalam semua sistem pendidikan, kita hanya mendidik masyarakat dengan menawarkan pengajian masasilam/pralagi dalam kelas-kelas sejarah, meleluhur sikap kebangsaan/ nasionalisme dengan penekanan terhadap kulturalisasi/pembudibudaya dan ketamadunan bagi membolehkan mereka, masyarakat digantara/berdikari/berjuang dan bersatu teguh apa yang dibentuk oleh politik kepada mereka. Namun sekarang ini masyarakat semakin minat dan serius berbincang berkenaan katastrofi di masadepan atau mengorganisasi eudoxus/caksana tentang ekoposial, teknologi, pendidikan dan komunikasi. Phaenomena/dumilah Futurisme mempercayai bahawa kita sebenarnya boleh mengasaduga/enoptron masadepan sebagaimana kita mempelajari masalalu, dengan menggunakan trends/trisna terhadap suasana-suasana dan menjangukasa/tour de force segala segenap imaginasi kita bagi memahami apakah yang akan terjadi, malah apakah yang sepatutnya terjadi dalam sikap yang sangat jelas meski berbeza/ecliptic terhadap masadepan.

Ikka Niiniluoto menghujah yang Futurisme adalah sains pemutusan (‘decision science’), yakni suatu disiplin yang cuba mengukur dan menguruskan proponen-proponen yang dipercayai boleh menunjukkan kemungkinan atau, dapat difahami sebagai ‘total modification’. Herbert Simon pula menegaskan sebagai sains perencanaan (‘design science’) – yakni, “the systematic deployment of optimal means for utilitarian ends – is contrasted with activist views that emphasized sociopolitical engagement and philosophical views that cultivated self-reflexive awareness… (Niiniluoto 2001: 373). Niiniluoto juga membimbingi bagaimana sikap Futurisme dalam menerima nilai-nilai manusiawi, “may endanger the normative status of scientific discourse…” (Niiniluoto 2001: 376). Strategi-strategi multi-motivasional oleh para futuriwan, kebersekutuan antara penyelidikan teoretikal dan empirikal, metodologi, falsafah, dan aksi-aksi politikal menemukan rumusan-rumusan baik secara kreatif mahupun inovatif berkenaan dengan kemungkinan masadepan dan masadepan yang diinginkan; Futures studies does not – or should not – pretend to predict “the future.” It studies ideas about the future – what I usually call “images of the future” – which each individual (and group) has (often holding several conflicting images at one time). These images often serve as the basis for actions in the present. Individual and group images of the futures are often highly volatile, changing according to changing events or perceptions. They often change over one’s life. Different groups often have very differing images of the future. Men’s images may differ from women’s. Western images may differ from non western images, and so on (Dator 2003: 2-3).

Futurisme bertindak terhadap bagaimana perubahan di hari ini; atau tunacakra kehidupan masakini, dan menjadi realiti esoknya. Ini merangkumi secara dinamik gerakan dan aktiviti penyelidikan, pemerhatian dan pemantauan terhadap sumber-sumber, trisna-trisna dan pradipta- pradipta serta nilai dan kandungan yang sudah dumilah dalam mengorganisasi urusan foresight dan seterusnya memetakan alternatif masadepan (pilihan dan peluang). Subjek-subjek, kaedah-kaedah, bentuk dan kandungan Futurisme adalah termasuk bagaimana pengetahuan menguruskan variasi- variasi kesiagaan, kemungkinan dan kemitraan atau alternatif transformasi ke atas masalalu dan masakini, baik sosial maupun “natural/alamiah”, dan terkesannya atas manusiawi, misalnya dalam pendidikan; “It’s tragic because, by my reading, should we fail to radically change our approach to education, the same cohort we’re attempting to “protect” could find that their entire future is scuttled by our timidity”, David Puttnam, Speech at Massachusetts Institute of Technology, June 2012 (IPPR, Michael Barber, Katelyn Donnelly, Saad Rizvi 2013: 3).

Berhadapan dengan keminatan yang semakin meluas, Futurisme adalah suatu projek mendeterminasi masadepan; suatu pengetahuan trans-disiplinari, pendekatan berasaskan sains dalam menganalisis corak-corak perubahan di masalalu; mengeksplorasi dan merepresentasi apakah yang akan terhasil dan terbentuk dari situasi dan senario-senario di masakini dari pelbagai perspektif interdisiplin, mengidentifikasi trends/trisna perubahan-perubahan di masakini; dan mengekstrapolasi senario-senario alternatif akan kemungkinan pradipta di masadepan, dalam orde membantu manusia membentuk masadepan yang mereka inginkan. Atau dalam dumilah yang difahamkan di sini sebagai suatu gerakan berkomunikasi dengan masadepan.

Futurisme mengadiluhung salah satu atribut pengetahuannya yang penting (permulaan secara etimologi) adalah sebagai disiplin ilmu yang mentadbir analisis-analisis terhadap imej-imej masadepan dan mendumilah wacana kesiagaan, kemungkinan dan kemitraan masadepan. Peranan dan prakarsa ini termasuklah mengumpul data-data kualitatif dan kuantitatif berkenaan alternatif- alternatif kebarangkalian, kemungkinan dan kemitraan segala pradipta dalam membentuk dan menghasilkan masadepan. Charles Stross ngacarani gatra dalam bukunya Accelerando (2005), perkembangan eksponential kuasa komputer atau siberologi, dan manipulasi genetik, akan mengubah bentuk dan kandungan alamiah tentang siapa kita dan apakah yang kita lakukan.

Manusiawi sama ada akan diganti dengan mesin-mesin sentien, atau (boleh jadi) menyatukan akal fikir (otak) dan badaniah/jasmani dengan mesin-mesin (cyborg); ekonomi bergerak ke nanokonomik, budaya siberologi dan cyborgologi yang tidak terbayang atau terfikir terjadinya, dan ledakan supersede multi-modal mobility dengan segala kepantasan pengetahuan dan nilai-nilai Smart Living, norma-norma abysmal tekno-utopia, dari pendidikan computronium kepada agalmic keusahawanan. Peranan manusiawi, atau sentien-sentien lain, termasuk spesis-spesis biologikal lain hidup dalam era kegemerlapan ekopocial dan peradaban superintelligent/adipendeta, merepresentasi metalevel akumulasi, magnifiar dan ekstrapolasi kreativiti dan inovasi; yakni metamorfosis terhadap supersesi kejauharian manusiawi oleh kependetaan artificial/ artificial intelligence, atau Singulariti.

Tentunya, salah satu pertanyaan yang begitu mengujikan mungkin atau tidak, terjadi atau tidak terjadi, menempatkan futuriwan begitu mengambil perhatian secara saintifik terhadap trends/ trisna teknikal dan kesan sosialnya. Semua pemahaman terhadap futuriwan mencetuskan impresi terhadap Futurisme. Namun, Futurisme sebagai disiplin ilmu yang nyata sedang mengukuhkan, para futuriwan telah mengeksplorasi etikal, sosiologikal, estetika, dan konsiderasi-konsiderasi lain. Aspek-aspek interdisiplin dalam pengetahuan alamiah dan sikap interdisiplinari Futurisme mengemukakan teknik-teknik dengan kombinasi yang dinamik bagi membolehkan suatu rumus dapat distimulasikan dalam menguruskan pengajian masadepan. Mempelajari tentang masadepan akan mencipta produk dan tindakan yang lain: dan akan mengacitya kepedulian, atau inertia, yang mana akan mengubah masadepan atau membenarkan aklimasi yang lebih jelas terhadap masadepan; “For the time being, large-scale mechanics and quantum mechanics have been forced to co-exist, because neither is any good at explaining the other. Nevertheless, philosophers and theoretical physicists have struggled mightily to come up with a new paradigm, a more acceptable interpretation of the ‘quantum reality’ of the subatomic world. It has been this struggle that has alerted the shamans and soothsayers to the dawning a new eras and the transitions of planetry dimensions. If even science is starting to question the nature of reality and our knowledge of it, then something must be up” (Wooley 1992: 224).

Adiluhung filosofikal disiplin Futurisme menjengahkan kesan ke atas sains komunikasi pernah dijelaskan oleh Bertrand Russell (1938: 10, 13), “that future was the ‘fundamental concept’ in communication as social science,’ …’ …in the same sense in which Energy [sic] is the fundamental concept in physics… The laws of social dynamics are… only capable of being stated in terms of power in its various forms”. Bourdieu (1990: 130) mendumilah bahawa pradipta masadepan terakibat dari kemelut komunikasi kerana “… they have a social genesis“. Flyvbjerg (2001: 3) mengulangi pandangan yang sama; “I… agree that in modern society, conflict and power are phenomena constitute of social and political inquiry“. Manakala Foucault (1976) mencuba untuk menghubungkan pandangan-pandangan berkenaan apabila beliau menyatakan bahawa pradipta masadepan adalah “not an institution and not a structure; neither ‘… a certain strength we are endowed with…“. Proponensi tradisi-tradisi kritikal terhadap masadepan mendapat pemerhatian akan keperluan untuk “variety of criteria to assess knowledge” (Slaughter 1988: 16). Satu daripada penyelesaian regenerative epithet Futurisme ialah menggelusurluaskan pandangan global berkenaan masadepan dan menghargai sikap pengetahuan secara trans-tamadun. Sehingga ke hari ini, wacana masadepan adalah diacuan oleh pengetahuan-pengetahuan tersedia ada berkenaan kondisi manusiawi dan masalalu/pralagi, dan dari “images, beliefs, goals, values and intentions” oleh pengamal-pengamalnya/ futuriwan (Bell 1997: 174-179).

Dan apakah yang difahamkan sebagai “the Singularity?” Kurzweil sebagai futuriwan misalnya menghuraikannya dengan terang dan jelas: Dalam esensi, iaitu apabila kita menguasai akan the athena dan poseidon akal manusia yang berada pada mesin-mesin (cyber/cyborg), “By 2045, that intelligence will be a billion times more powerful than all biological intelligence on Earth today“, maka prediksinya terbinalah atau tertebarlah, “The Singularity“.

Lalu, dan seterusnya, adalah senario erechtheum Futurisme, yakni bagaimana Singulariti ini dapat dimanfaatkan. Jika kita menatap ke setiap dalamnya akal fikir para Futuriwan, apakah yang nyatanya boleh dijangkakan dan diharapkan? Tentulah bergantung kepada atlas senario yang terbaca oleh masing-masing. Pengajaran dan pembelajaran berkenaan masadepan dunia mempradipta suatu fondasi esensial untuk menemukan artemisnya masadepan. H. G. Well menyatakan, “Human history becomes more and more a race between education and catastrophe” (1932/1987: 35). Kita akan sukses menjangkakan senario dan situasi, keadaan dan atmadaya meleluhur akan beberapa dekad akan datang jika proporsi besar dari populasi umat manusia di dunia ini memahami ragam corak permasalahan-permasalahan global dan potensi-potensi masadepan, menangani dengan hikmah generasi masadepan, menerima keperluan perubahan, dan mengambil sikap koopertaif dan konstruktif dalam menimang pilihan-pilihan dan peluang-peluang masadepan. Sebaik mencukupi dan jauharinya manusia mengambil berat tentang generasi-generasi masadepan, mengimplementasikan keperluan maka perubahan ke masadepan akan menjadi lebih mudah. Sekira hanya bercakap tentang bahaya/ancaman, berbanding menyampaikan peluang dan wawasan secara seimbang yakni pradipta masadepan, maka tentulah akan menyebabkan berlakunya ketunapedulian dan semua orang akan mula berfikir keharusan dan kepentingan apakah untuk mengadiluhung dan memparipurna penghidupan dan dunia bagi generasi-generasi akan datang.

We stand at the dawn of a new era“, tegas John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam karya acitya deliberatif mereka Megatrends 2000. “Before is the most important decade in the history of civilization, a period of stunning technological innovation, unprecedented economic opportunity, surprising political reform, and great cultural rebirth“. Dalam orde untuk memakmurkan wisata atas semua pandangan dan penelitian (Futurisme dan Abad Singulariti) sudah tentu asasnya untuk ahingani (masadepan/pradipta) segala gravitas prognostikasi, simulasi dan haytham terhadap dharmalaksana/argonauts ekoposial; dari kebangkitan kreativiti dan ekonomi inovasi kepada kemajuan multi-modal mobility technology seperti siberologi dan cyborgologi, baruna pengembaraan manusiawi dan dunia fizikal ke masadepan, “Most of the thinking power on the planet is now manufactured rather than born; there are “ten microprocessors for every human being, and the number is doubling every fourteen months. Population growth in the developing world has stalled, the birth rate dropping below replacement level. In the wired nations, more forward-looking politicians are looking for ways to enfranchise their nascent AI base. Space exploration is still stalled on the cusp of the second recession of the century. The Malaysian government has announced the goal of placing an imam on Mars within ten years, but nobody else cares enough to try. The Space Settlers Society is still trying to interest Disney Corp. in the media rights to their latest L5 colony plan, unaware that there’s already a colony out there and it isn’t human: First-generatin uploads, Californian spiny lobsters in wobbly symbiosis with elderly expert systems, thrive aboard an asteroid mining project established by the Franklin Trust. Meanwhile, Chinese space agency cutbacks are threatening the continued existence of Moonbase Mao. Nobody, it seems, has figured out how to turn a profit out beyond geosynchronous orbit.Two years ago, JPL, the ESA, and the uploaded lobster colony on comet Khrunichev-7 picked up an apparently artificial signal from outside the solar system; most people don’t[…]” (Stross 2005: 80-81).

ZENTRUM sebagai adigista Futurisme di Malaysia yang merayakan ikhtiar-ikhtiar ‘participatory networks’ telah menjadi suatu tempat di mana setiap orang memberi perhatian tentang kepercayaan baru, prediksi masadepan, sama ada sebagai strategi atau polisi. ZENTRUM sebagai pencetus pengalaman bekerja dengan ‘Future Studies’ di Malaysia, dan meraikan peranan Futurisme para penyelidik relawan yang berpartisipasi dengan perkembangan media informasi, tentunya melihat ‘Future Studies’ sebagai projek memerhati dan memeriksa serta menguruskan bukan sahaja terhadap kepastian-kepastian, malah berkenaan kemungkinan-kemungkinan dan keinginan-keinginan masadepan atau pradipta.

Future is a category of communication. It is a dimension of the discourses by which the society organizes the appropriation of sense. In that sense future mindedness is a dimension of cultural worlds. It is always a meaning goal of organizations. The rationality of communication is to become prepared for surprises. The meaning of surprise is culturally different; anadiplosis on that the discovery of chance and choice. Chance and choice not only as a process of determinism, or backcasting; future studies, as the term evolved in the curriculum, does not deal exclusively with attempts to predict the future. Future studies can help to define the current status of society technologically, socially, esthetically. This “world view” then can be compared with other potential “world views” through a series of intellectual filters (Wells, 1987: 245-247).

‘Future Studies’ telah menggerakkan ikhtiar memahami petunjuk-petunjuk dari perbuatan, perilaku, dan penghasilan tindakan di masakini dan menjadi jendela ke masadepan; atau pragmatisme yang akan mengawal penghidupan manusia di hari-hari esok dalam period yang tidak terfikir secara mudah dari aksi waktu ini. Pemikiran terhadap potensi akademik ‘kebidangan’ misalnya dengan mendewatakan sikap ‘keaku-akuan’ dan ‘jumud’ konon dalam disiplin sendiri telah menjauhkan sekian ramai cendekiawan, pemikir dan ahli akademik dari mengerti peranan untuk mencetuskan kepercayaan terhadap potensi kemungkinan, keyakinan dan keinginan baharu mengupayasandhi masadepan. Cara menguruskan pemikiran begitu primitif, yakni setiap individu itu hanya berkemampuan berfungsi dalam bidang yang dimahirnya, atau dalam lingkaran kebolehan pengetahuannya lalu menyebabkan sebahagian ambaudhenda nyakrawati ilmu pengetahuan baharu misalnya dalam menterjemahkan, mentafsirkan, menilai dan memutuskan kesan dan akibat, peranan dan tanggungjawab, penyelidikan dan pembangunan begitu rendah dan ingkud. Seorang ‘doktor pakar’ hanya tahu menyebutkan bidangnya adalah menguruskan penyakit seorang pesakit; lalu apabila terjadi ‘katastrofi urbanisme’ misalnya krisis-krisis ekistik seperti perumahan, transportasi, kemiskinan, kelaparan, kriminal maka kewaskithaan dan falsafah ambauydhenda nyakrawati doktor ini tidak pernah sesekali mendekatkan dirinya dengan keinginan untuk membangunkan impresi terhadap ekistik, geologi, geografi, komunikasi, pendidikan, sibernetik dan sejarah masyarakat dan kesan ekonomi, politik dan sosial. Perawatannya cuma berlingkaran di antara mengenali jenis penyakit dan ubatan yang bakal ditawarkan. Sedangkan di sekeliling akibat dari krisis ekistik itu telah meranapkan impian tamadun bangsanya sendiri, dari kebudayaan sehinggalah agama. Maka sebab itulah pemikiran Futurisme mengajak sebuah gerakan mengadiluhung kemampuan menguruskan idea, persepsi, pandangan, dan ramalan dengan mengeksplorasi etikal, sosiologikal, estetika, retorik, komunikasi dan lain-lain konsiderasi. Tidak akan terjadi ranapnya Empayar Kesultanan Melayu Melaka sekira mampu memprediksi kekuatan “Armada Portuguesa”.

Ibnu Khaldun seperti yang dihuraikan sebelum ini, yang dianggap sebagai “pengasas” pemikiran berkenaan ‘Future Studies’ (‘umran al-‘alam) dengan meletakkan kepercayaan bahawa prediksi masadepan adalah suatu proses membangunkan penghidupan yang agung, kerana masadepan adalah tanggungjawab siasah setiap manusia. Ini disokong oleh Michel de Certeau dengan meletakkan proses intelektual adalah proses dinamik menggubah keyakinan terhadap kemampuan ilmu berhubung dengan sisi masadepan;

But what future do we want? In my previous column, I posed two alternatives: (1) a new, globally uniform information and knowledge economy, where the chief commodity is information, with knowledge paid mainly lip service, and wisdom largely ignored; and (2) a communicative community, where different cultures learn mutual understanding and collaboration for continually creating and reviewing mutually acceptable goals and the means for attaining them?… H. G. Wells: “Human history becomes more and more a race between education and catastrophe.” You can successfully navigate through the next few decades only if a large proportion of the world’s population understands global problems and potential futures, cares about future generations, accepts the need for change… s. (Dator 1979: 227).

Malah dalam perkembangan pendidikan sekalipun, cabaran-cabaran baru yang lebih plural dan dinamik telah terjadi. Tentulah tidak ada sesiapa pun yang akan menafikan kepentingan pengetahuan sejarah. geografi, fizik, biologi dan antropologi dalam mengembangkan potensi makrotawarikh; tetapi seandai pemahaman terhadap disiplin tanpa menerima kepentingan sub-sub disiplin maka tentulah pengetahuan yang sepatutnya berkembang akan menjadi beku, kering dan musnah. Penyelesaian adalah penelitian terhadap strategi paramudita masalalu, paramudya (phronesis) masakini dan paramusesa (eudaimonia) masadepan. Menyokong pandangan John Galsworthy dari awal, bahawa sekira tidak berfikir tentang masadepan, maka kita tidak akan memiliki masadepan itu. ‘Future Studies’ adalah sebuah domino baru dalam pengetahuan, kerana bentuk dan kandungannya yang menunjukkan visi mencipta, bukannya merungut terhadap apa yang telah terjadi. Daniel Seymour memberi pandangan terhadap pengajian tinggi khususnya pembelajaran dan pengurusan universiti, yang sepatut mendepani kepercayaan perubahan terhadap sikap menguruskan pengetahuan masadepan sebagai;

Sailing a ship across the Pacific is no different from organizing a college or university for performance improvement. In both instances, it is immensely helpful if we can come to some agreement on which way to aim the pointy end (Seymour 1995: xix).

Sebab itulah Islam menetapkan asas ‘Future Studies’ sebagai teras pengembangan dharmalaksana pengetahuan, bestari budimannya keilmuan (episteme) dan kecendekiaan (techne) mereka yang mempercayainya atau mirsa (Dasein), dan upayasandhi penghidupan ekoposial masyarakat kerana ruh kemajuan manusia itu adalah seyakin mana keinginannya untuk berubah menjadi lebih baik dari masalalu dan masakini: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kalau bukan kaum itu sendiri yang merubahnya” (Surah Ar-Raad: 11)

Ibnu Khaldun menerangkan kepentingan pemikiran dan pengetahuan baru, yakni Future Studies, khususnya terhadap masyarakat yang masih dibantai bermacam-macam krisis ekoposial seperti keruntuhan sistem demokratik dengan politik korupsi, serta penyelewengan ekonomi dan pemusnahan intelektualisme; yakni, dengan membina aliran baru yang mampu mengolah bentuk dan kandungan masadepan baru. Katanya;

Perhaps some later (scholar), aided by the divine gifts of a sound mind and of solid scholarship, will penetrate into these problems in greater detail than we did here. A person who creates a new discipline does not have the task of enumerating (all) the (individual) problems connected with it. His task is to specify the subject of the discipline and its various branches and the discussions connected with it. His successors, than, may gradually add more problems, until the (discipline) is completely (presented). (Ibnu Khaldun 1958: 481)

Dalam memahami kelakuan dan kandungan Future Studies, di peringkat asosiasi dan percubaan, misalnya ZENTRUM menegaskan dalam kerja-kerja penyelidikan partisipasinya; Kajian persepsi Future Studies menguji keberkesanan Tiga renstra analisis iaitu:

‘Backcasting’ atau pemerhatian terhadap corak sejarah, antropologi, budaya dan perkembangan norma ekoposial;

‘Forecasting’ atau pemeriksaan corak/’patern’ kepercayaan politik berasaskan kesemasaan; dan,

‘Foresight’ iaitu prediksi dari data-data terkumpul lalu diproses untuk menemukan corak dan keputusan yang akan terjadi di masadepan/ atau selepasnya.

Misalnya dalam Prediksi Pilihanraya ialah prediksi undi lalu kaedah pengumpulan data ialah terbahagi kepada Dua iaitu: ‘Panel expert’ (tokoh-tokoh, institusi, adhoc yang profesional) dan, ‘Excercise expert’ (massa yang dipilih secara rawak) dan menggunakan model wawancara secara langsung mengikut soalan yang telah disusunkan bagi menemukan jawapan prediksi. Contohnya, dari pengundi sendiri. Proses menyuburkan partisipasi terlibat dalam kajian adalah Future Studies.

Semua data dari persepsi menjadi informasi disalurkan melalui kesepakatan dan kebersekutuan yang terbentuk di peringkat komunikasi melalui media baru, atau media sosial. Ini menyatakan bahawa projek “participatory researcher” adalah sebuah rekayasa kesedaran peranan, kepercayaan terhadap ruang-ruang dan potensi-potensi pembentukan pengaruh, sekali gus berpartisipasi dalam demokrasi dengan perkongsian fikiran, perasaan, malah pengalaman sejarah, pembabitan masakini dan kehendak di masadepan. Zentrum Future Studies Malaysia (ZENTRUM) meski bukanlah suatu institusi seperti sebuah parti, atau pertubuhan seperti sebuah kumpulan gabungan persatuan bukan kerajaan (NGO) atau bukan juga sebagai sebuah jabatan yang diuruskan secara mekanisme dan mesinari, namun telah cukup membawa pengaruh dalam memajukan keminatan dan fikiran terhadap Future Studies, dan demokrasi partisipasi dengan menganjurkan penyelidikan partisipasi di negara ini.

Tentulah dalam merayakan demokrasi, partisipasi atau penglibatan dalam menemukan kesepakatan, kebersamaan dan kebersekutuan bagi mencipta keadilan dan kesaksamaan merupakan renstra yang penting. Ambisius ini tidak akan berjaya tanpa membangunkan literasi ekoposial, dan tentunya terhadap literasi politik agar kesedaran tentang kebebasan, dan kemerdekaan sebagai hak paling teratas penghidupan setiap manusia tersebut dapat menjadi suatu peradaban. Kebangkitan media baru melalui media sosial di waktu ini meninggalkan sikap-sikap primitivisme media tradisi yang begitu menunjukkan sikap singularisme dan bias keterlaluan dalam kandungan maklumat, kerana kebergantungan terhadap perintah kapitalisme kaum pemodal yang mengejar keuntungan maksimum atau totalitarian kapitalis; ataupun akibat tekanan dan ancaman pemerintah kesan dari kepentingan politik, sekali gus telah membuka gapura informasi melalui rangkaian media partisipasi. Maka menjayakan penyelidikan partisipasi atas model kerja Future Studies tentulah akan turut sama menjadi suatu gerakan pembaruan dan pembebasan fikiran serta tindakan dalam bersekutu buat perubahan demi masadepan. Partisipasi ini akan mencipta kawanan pemikir berwawasan dalam bersekutu mengubah jagatraya dan “tomorrow’s trends” dibentuk dan direalisasikan.

Abad ini adalah abad yang paling mencabar buat Tamadun Melayu Serumpun setelah sekian lama terpecah belah, punah ranah dan bertebaran membawa haluan masing-masing kesan daripada penjajahan, untuk kembali bersatu teguh membina kekuatan ekonomi, politik dan sosial (ekoposial) secara bersama; yang berat sama dipikul, yang ringan sama dijinjing; hati gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah, dalam keadaan dunia digodam globalisasi di mana kepercayaan terhadap sempadan-sempadan baik geografi, geo-ekoposial dan budaya sudah tidak dapat diterima. Dunia sedang dipaksa untuk bergerak ke zaman langit terbuka sepenuhnya (Frank Fûredi, 1992: 98), dan segala kebudayaan hidup yang sekian lama membentuk peradaban-peradaban pada setiap bangsa termasuk Tamadun Melayu Serumpun sedang dicabar dan tercabar, ditentang dan terkepung untuk berubah selari dengan perubahan yang meletus dalam globalisasi terutama dalam menyediakan diri menerima kehadiran budaya-budaya baru, yang datang dari segenap penjuru, dan tantangan ini lebih mendahsyat datangnya dari gelombang kekuasaan perusahaan media (Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, 1985: 91).

Tentunya dalam keadaan ini sikap dan kebergantungan terhadap “mempercayai masalah” yang menjadi kebudayaan lazim dalam kebudayaan manusia khususnya di negara ini sudah tidak boleh diterima sekira berkeinginan untuk menemukan masadepan yang lebih pasti dan berjaya. Sebaliknya, sikap dinamik dan pragmatik dengan menguruskan segala pertimbangan melalui Futurisme, termasuk segala prakarsa menangani kemungkinan misalnya dari pembangunan- pembangunan yang terkesan dari globalisasi dan kapitalisme. Tidak mungkin untuk tidak membenarkan fikiran, renungan dan Futurisme berlaku kerana musim Monsun yang didatangkan hujan lebat dan bah itu pun sendiri hendaklah ditangani dengan kepedulian terhadap apakah prediksi yang akan terjadi sekira gagal mentadbir dan mengorganisasi musibah dan krisis dengan cerma, bijak dan percaya terhadap usaha akan menyelesaikan takdir. Tentulah di ketika sebahagian dunia sedang mengusahakan kelahiran robot, cyborg dan pelbagai mesin siberologi maka sikap untuk menangani semua urusan secara melakukan jangkauan fikiran ke masadepan amat penting.

Saya percaya bahawa para sarjanawan, filosuf, dan usahawan hendaklah-nya untuk meneruskan #tag, atau perbincangan bagi mengadiluhung dharmalaksana pengetahuan Futurisme terhadap masalalu/pralagi yang kita kongsi, masakini yang kita tekuni, dan masadepan yang kita miliki.

Muat turun PDF

Muat turun PDF

Menuju Abad Singulariti – Prof Abu Hassan

Print Friendly, PDF & Email